Dari pasal-pasal tersebut mengandung arti bahwa VER secara formil dan materil harus dibuat oleh dokter yang memiliki keahlian khusus terkait luka yang diakibatkan perbuatan pidana seseorang dalam peristiwa pidana. Dikarenakan jika tidak mememenuhi norma pasal tersebut, maka kedudukan dokter yang membuat VER tidak bisa dikategori sebagai alat bukti ahli dan proses pembuatan VER tersebut adalah produk yang unprosedural.
“Selain itu, apabila dihubungkan dengan peraturan disiplin ilmu kedokteran, di mana dokter dalam tindakan pemeriksaan medis terhadap pasien harus dilakukan berdasarkan keilmuannya, sehingga dokter yang tidak memiliki keahlian bidang THT misalnya, tidak bisa mendiagnosa pasien tersebut. Pada bagian lain, VER merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian, dikarenakan menggantikan sepenuhnya barang bukti (corpusdelicti),” papar Hasrul.
Ia menambahkan, VER sebenarnya telah ada dalam tahap penyelidikan yang mana dalam konteks “mencari dan menemukan peristiwa pidana” inilah di mana VER sangat diperlukan sebagai alat bukti surat.
“Sehingga harus dimintakan penyelidik melalui perintah penyidik kepada dokter, guna memenuhi syarat penyelidikan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP. Apabila posisi VER dilihat dalam proses penyidikan, sudah tentu yang diperintahkan adalah untuk mencari dan mengumpulkan bukti tentang peristiwa pidana yang terjadi untuk menemukan tersangka (vide Pasal 1 angka 2 KUHAP),” ujarnya.
“Apabila difokuskan terkait mengumpulkan bukti-bukti, maka secara hukum acara pidana dari Locus Delicti dan Tempus Delicti yang di dalamnya terdapat baik subjek (saksi, korban dan pelaku) dan objek (barang bukti). Posisi VER dalam penyidikan sudah tentu memperkuat alat bukti saksi dan keterangan korban itu sendiri, namun dalam bentuk laporan tertulis yang berbasis sains medis, kewenangan sumpah dan jabatan profesi dokter, sehingga dari sini secara pembuktian VER bisa menjadi alat bukti ahli dan alat bukti surat,” sambung Hasrul.
Tinggalkan Balasan