SOP Penanganan Perkara Pidana

Proses beracara dalam perkara pidana selain diatur dalam KUHAP dan undang-undang tertentu, teknis pelaksanaannya diatur dalam SOP penanganan perkara tindak pidana umum Kejaksaan RI telah diatur jangka waktu antara penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang dikenal dengan SPDP, dibatasi hingga 90 hari, dengan terlebih dahulu kejaksaan memberikan permintaan perkembangan penyidikan sebelum SPDP dikembalikan dan dihapus dalam register perkara kejaksaan.

Terdapat kekosongan hukum dalam proses ini, karena pengembalian SPDP bukan merupakan syarat penghentian penyidikan, sehingga penyidik tidak terpengaruh dengan pengembalian SPDP tersebut, dan kapan saja penyidik dapat mengirim lagi SPDP tersebut dan kejaksaan tidak dapat menolak. SOP terbaru di kejaksaan, penyidik wajib membuat Sprindik baru dan SPDP yang baru atas perkara SPDP-nya telah dikembalikan.

Berlarut-larutnya perkara juga dapat terjadi pasca penyerahan tahap 1, dikarenakan jaksa peneliti perkara mengembalikan berkas perkara untuk dilengkapi formil dan materilnya yang dikenal dengan istilah P.19 dalam bentuk tertulis dan selanjutnya apabila penyidik juga belum memenuhi berkas perkara dilanjutkan dengan berita acara koordinasi hingga tercapai kesepakatan, apakah petunjuk yang diberikan dapat dipenuhi atau tidak oleh penyidik untuk menjadi dasar Jaksa Peneliti berkas Perkara menyatakan lengkap atau tidak berkas perkara tersebut.

Terdapat juga perkara pidana yang sudah dinyatakan sudah lengkap yang dikenal dengan istilah P.21 tapi tidak kunjung dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti oleh penyidik ke kejaksaan yang dikenal dengan penyerahan tahap 2, dengan berbagai alasan antara lain tersangka sudah dinyatakan DPO.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Kepastian hukum adalah salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang paling asasi, khususnya masyarakat yang terlibat dalam permasalahan hukum (pidana) untuk menjamin hak-hak tersangka, korban, dan para pihak yang terkait dalam proses hukum, dan juga menghindari stigmatisasi masyarakat pada pelaku yang belum tentu dugaan sebagai pelaku tindak pidana itu terbukti atau tidak di pengadilan, serta menjamin hak-hak keperdataan yang bersangkutan yang dibatasi akibat adanya proses penyidikan.