Demikian juga barang bukti yang disita mungkin saja terdapat barang milik pihak ketiga atau yang tidak akan dirampas atau dimusnahkan, akan merugikan korban dan pemilik barang bukti karena selama belum ada vonis tidak dapat dipergunakan dengan bebas, termasuk menjual meski merupakan hak milik.
Dalam KUHAP, berapa lama proses penyidikan itu dilakukan tidak diatur, meskipun secara tersirat lamanya waktu penyidikan itu sama dengan lamanya masa penahanan tersangka, yaitu maksimal 120 hari. Namun dalam beberapa kasus terdapat perkara yang tidak dapat ditahan dan atau tersangka tidak dilakukan penahanan sehingga tidak ada batas waktu harus menyelesaikan penyidikan dan melakukan penyerahan tersangka dan barang bukti ke kejaksaan. Alasan tidak ditahannya tersangka ini tentunya tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mematuhi prinsip speedy trial karena semua proses hukum termasuk penyidikan harus dilakukan dengan cepat, murah, dan biaya ringan.
Salah satu dampak hukum yang dapat merugikan penegakan hukum akibat lambatnya proses penyidikan (bertahun-tahun) adalah terkait gugurnya hak melakukan penuntutan karena kadaluwarsa. Ini bisa menjadi celah hukum yang dapat menggugurkan penuntutan perkara pidana demi hukum yang tentunya merugikan pencari keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHP. Filosofi dari lembaga daluwarsa adalah adanya kemungkinan ingatan-ingatan saksi-saksi akan kejadian telah hilang akibat lamanya penyidikan serta akan semakin sulit mencari alat bukti seiring lamanya waktu berjalan.
Dalam Pasal 77 KUHP tersebut diatur daluwarsa 6 tahun untuk kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, 12 tahun bagi kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, dan 18 tahun bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup. Sedangkan untuk pelanggaran daluwarsanya 2 tahun dan untuk tindak pidana di bidang percetakan 5 tahun. Daluwarsa mulai menghitung sejak tindak pidana dilakukan atau sejak diketahui.
Kewajiban penyidik kepolisian untuk menyampaikan SPDP kepada kejaksaan sebenarnya merupakan mekanisme pengawasan horizontal sebagai bentuk kontrol check and balances, namun apakah ditindaklanjuti dengan penyerahan berkas perkara yang dikenal dengan tahap 1 ke kejaksaan menjadi kewenangan penyidik. Beberapa kasus yang SPDP-nya sudah diterima kejaksaan kemudian disusul dengan pemberitahuan SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penyidikan).
Tinggalkan Balasan