Tak jarang kita mendengar seorang terdakwa atau keluarganya yang mengeluh besarnya biaya dalam proses hukum, hingga menjual rumah dan harta bendanya untuk bisa keluar dari permasalahan hukum yang dialami.
Demikian juga fakta yang masih saja terjadi hingga saat ini yang kita dengar dari pelapor maupun terlapor, baik yang sudah memiliki status tersangka atau belum mengalami proses hukum yang tidak berkepastian dengan berbagai argumentasi hukum sebagai dasar hukum. Berbagai argumentasi yang dijadikan alasan pembenar adalah belum adanya alat bukti yang cukup untuk menaikkan penyidikan atau belum cukup bukti untuk menetapkan sebagai tersangka atau pun juga terjadi alasan berkas bolak-balik dari kejaksaan dengan alasan belum cukup bukti untuk perkara yang sudah diberkaskan dan sudah diserahkan ke kejaksaan (tahap 1).
Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi jika kita taat pada asas peradilan cepat, murah dan sederhana. Karena dengan berlarut-larutnya penanganan perkara, asas peradilan cepat (speedy trial) ini menjadi mandul.
Lambatnya penyelesaian penanganan perkara yang menurut pengalaman dan data ketika penulis menjadi Koordinator pada Bidang Tindak Pidana Orang dan Harta Benda pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI yang memantau penanganan perkara seluruh Indonesia, terdapat penyidikan perkara yang mencapai 1 tahun hingga 5 tahun bahkan lebih tanpa kepastian hukum.
Fakta ini merupakan pelanggaran hak asasi, baik tersangka, korban atau pelapor maupun pihak lain yang terkait yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan sewenang-wenang aparatur karena pada prinsipnya penyidik dan penuntut umum juga telah diberikan kewenangan atributif oleh undang-undang untuk menghentikan perkara dan dapat dibuka lagi jika ditemukan bukti baru sebagaimana diatur dalam Pasal 109 KUHAP.
Tinggalkan Balasan