Kedua, skala gerakan mesti diperluas agar gemanya makin berdentang nyaring. Karena itu, komunikasi dengan kelompok Cipayung diintensifkan. Abubakar Abdullah yang memimpin PMII dihubungi. Begitu juga ketua IMM, Sofyan Abas. Rapat-rapat selanjutnya untuk pematangan aksi ke DPRD dilakukan secara bergilir di sekretariat PMII dan IMM. Hasby Yusuf kebagian tugas meminta dukungan dari kampus. Hasby mengaku dua kali bertemu Yusuf Abdurahman, Rektor Unkhair saat itu. “Beliau bertanya apa semua siap? Yakin bisa berjalan aman?. Saya jawab Insya Allah aman”, aku Hasby. Saat hendak pamit, tokoh pendidikan yang rendah hati itu memberikan Hasby sejumlah uang untuk memperbanyak spanduk dan poster.

Seminggu melewati malam-malam penuh konsolidasi, ribuan mahasiswa dan aktifis pergerakan tumpah ruah mengepung gedung DPRD Kabupaten Maluku Utara di kawasan Stadion. Petisi dibacakan. Kelompok Cipayung menawarkan gagasan berupa pokok pikiran. Kalangan kampus baik Unkhair maupun IAIN Ternate juga sama. Semua elemen diminta bersatu. Rekomendasi DPRD sebagai senjata politik didesak agar secepatnya dikeluarkan. Saat Ketua DPRD Oetaryo yang didampingi Rusdi Hanafi (F-PPP), Soleman Adam (F-Golkar) dan Tata Atmadja (F- ABRI) memberi respons, Zainuddin Abdullah bertriak kencang. “Kita kasih deadline tiga hari”.

DPRD kemudian bergerak cepat. Sebuah panitia khusus dibentuk. Ketuanya M, Nur Umaternate didampingi sekretaris, Isnain Hi. Ibrahim. Rekomendasi dukungan dari para wakil rakyat ditandatangani. Dokumen itu dibawa perwakilan ke Jakarta. Amplifikasi aksi ini menyebar kemana-mana. Di Tidore – pusat Kabupaten Halmahera Tengah – sejumlah aktifis mulai bergerak. Di Ambon, mahasiswa yang berhimpun dalam HIPMA MKR mendesak Gubernur Maluku dan DPRD untuk mendukung ide pemekaran. Gayung bersambut ke tanah Sulawesi dan Jawa. Tiap daerah punya epos sendiri.

Saya menuliskan “puzzle” sederhana ini sebagai pembuka dan juga pengingat penting jejak mereka yang berjuang di jalanan, di tempat-tempat kost yang sempit, di ruangan perhimpunan yang minim fasilitas dengan dinding kusam dan atap bocor dan juga di pinggiran kekuasaan. Sejarah adalah kehendak rasional. Dia dituliskan tak sekedar memenuhi laku glorifikasi yang kadang manipulatif – tetapi lebih dari itu, Ia adalah keabadian yang mesti disematkan pada memori kolektif anak negeri dalam lanskap yang jujur dan merdeka. Saya meyakini, anak-anak muda yang dulu berjuang tak butuh penghormatan berlebihan. Mereka hanya ingin “diingat” ketika setiap kebijakan daerah ini hendak diputuskan. Ada kepentingan bersama yang mesti didahulukan.

Dalam buku “Menjemput Perubahan” Syaiful Bahri Ruray menegasi sebuah konklusi : transisi demokrasi dan keberlangsungan pembangunan akan mandek tatkala berbagai kebijakan menafikan sejarah sebagai sebuah realitas. Ketika sejarah terabaikan dan kesejahteraan terkungkung dalam bayangan, anak-anak muda itu akan kembali berkumpul untuk berjuang. Karena pejuang bagi saya bukanlah mereka yang selalu menang, tetapi mereka yang selalu bertarung. (*)