Oleh: Asghar Saleh
SEBUAH panggilan di handy talky memaksa Wali Kota Syamsir Andili meminta supir bergegas kembali ke kantor. Ketegangan menyeruak menghentikan diskusi ringan di dalam mobil. Di jok belakang, benak Soni Sumarsono, utusan khusus yang dikirim Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid – untuk membicarakan usul peningkatan status pemerintahan kota Ternate – dipenuhi tanda tanya. Juga cemas. Pesan di ujung panggilan menyebut, sekelompok anak muda “memberontak”. Mereka memaksa bertemu Walikota dan utusan dari Jakarta.
Ternate siang itu, awal November 1998, di ingatan saya mirip situasi Rengasdengklok ketika Soekarno dan Hatta yang dinilai gamang menghadapi kemelut politik usai Jepang menyerah, mendadak diculik sekelompok anak muda yang dipimpin Chairul Saleh. Anak-anak muda itu memberi ultimatum. Proklamasi Indonesia sebagai sebuah negara merdeka harus disegerakan. Hanya butuh sehari kemudian, Soekarno didampingi Hatta tampil membacakan maklumat penting itu. Dan kita jadi sebuah bangsa meski baru sebatas “imagined community” – sebuah kumpulan yang terbayang menurut Benedict Anderson.
“Yang terbayang” sejatinya memiliki dua wajah yang sama-sama penuh enigma. Tak ada kepastian. Meski begitu, dalam derap perubahan, “yang terbayang” biasanya didominasi oleh hasrat untuk bersatu. Sejarawan Perancis, Ernest Renan menyebutnya ; “le desire d’etre ensemble”. Hasrat tak mengikat secara tertulis. Ia lebih pada ikhtiar kolektif untuk membangkitkan kesadaran. Merangkul sebuah keyakinan. Perkara keyakinan ini disemai lewat kesamaan nasib dan penderitaan pada masa lalu dan memiliki cita-cita yang sama terkait masa depan.
Keyakinan juga yang membuat sekumpulan anak-anak muda yang didominasi aktivis HMI Ternate mendatangi kantor Bupati Maluku Utara. Mereka menendang pintu. Riuh beradu mulut dengan sejumlah pegawai. Situasi memanas. Informasi berseliweran tanpa konfirmasi. Di Jakarta, badai reformasi yang memaksa Soeharto lengser tak serta merta membuat Republik stabil. Ketidakadilan pembangunan warisan masa lalu menyebabkan banyak daerah meminta kewenangan mengurus diri sendiri. Desentralisasi digugat. Di sisi lain, ekonomi negara belum sepenuhnya pulih. Politik masih mencari bentuk yang ideal. Jakarta masih jadi bandul yang menentukan nasib daerah.
Tinggalkan Balasan