Perpustakaan tak hanya dibangun, dicintai, dan menginspirasi banyak orang. Melainkan pula, ditakuti penguasa. Bersandar pada Fernando Baez, sastrawan Damhuri Muhammad menulis, “tahun 1258, pasukan Hulagu Khan menaklukkan kedigdayaan Dinasti Abbasiyah, menghancurkan semua buku di semua perpustakaan Kota Baghdad dengan membuangnya ke sungai Tigris.

Tinta dan darah bersenyawa, dan mengalir sampai jauh. Di negeri yang sama tahun 2003, Perpustakaan Nasional Baghdad luluhlantak bersama jutaan koleksinya, seiring runtuhnya kekuasaan Presiden Saddam Husen.” Sejarah getir ini mengingatkan kami pada novelis Cekoslowakia Milan Kundera yang menyatakan,”jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah.”

Bagaimana di negara kita? Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat yang disusun Perpustakaan Nasional tahun 2020 menyebutkan, pada 2019, Indonesia tercatat sebagai pemilik perpustakaan terbanyak di dunia: 164.610, setelah India, 323.605 Perpustakaan. Di bawah kita, negeri Beruang Merah, Rusia 113.440; dan negeri Tirai Bambu China, 105.831 Perpustakaan.

Sebanyak 164.610 itu terdiri dari 42.460 perpustakaan umum; 6.552 perpustakaan perguruan tinggi, 2.057 perpustakaan khusus, dan 113.541 perpustakaan sekolah. Tersebar di Jawa 47,79 persen, Sumatera 23,45 persen, Sulawesi 11,52 persen, Nusa Tenggara 8,47 persen, Kalimantan 6,67 persen, dan Papua 0,4 persen.

Kendati begitu, jangan dulu menepuk dada. Bangunan peradaban dan kebudayaan kita itu masih ada yang gampang hancur tersapu bencana lantaran dibangun asal-asalan, kadang digunakan gedung tua/bekas, dan letaknya tidak strategis, seperti dikritik senior librarian Heri Rusmana.