Khususnya di Kota Ternate, hasil analisis Prieta Firdayani Mulyono dan Haryono Putro (2019) menyatakan bahwa kebutuhan air masih belum maksimal, dan hanya dapat mengandalkan air hujan dengan potensi debit 43,139 m³/detik.
Kompleksitas ini kalau tidak dipetakan dengan baik, akan berdampak besar pada banyak sektor. Terutama, jumlah penduduk menjadi menurun. Dorang bertransmigrasi ke daerah lain. Ternate menjadi kota jomblo, kesepian. Cengkeh, pala, dll yang disebut rempah menjadi layu. Nasib semua warga yang tersisa sapa mau kalesang? Orang-orang mati karena dehidrasi. Kota Rempah akhirnya hanya nostalgia di kedai-kedai kopi. Tarada guna.
Saya batabea pa ngoni, setidaknya ada beberapa aspek penting untuk menegaskan persoalan kebutuhan air sebagai pijakan Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu availability, quality, dan accessibility. Tiga elemen ini harus mudah diakses secara fisik, ekonomis, tidak boleh ada diskriminasi, dan perlu keakuratan terkait informasi mengenai saluran kelancaran air.
Perihal pemenuhan HAM atas air ini tentunya memastikan bagaimana kelancaran dan pembagian secara merata atas sambungan air dari setiap titik yang tersedia. Sebab ini perlu direalisasikan dan sudah menjadi kewajiban pemerintah kota Ternate.
Trus?
Kalau memang cuma bagini-bagini keadaannya, pihak pengelola air bersih harus dievaluasi kinerjanya. Jika tidak punya kemampuan untuk mengelolanya dengan baik, pajula kase kaluar Dirut dan pengurus lainnya. Mangkali dorang tara mangarti urus barang. Kira ini urus parigi kong tinggal batimba? Coba kase jelas pa torang kamari. Kase lancar tu aer. Sampe ini torang stengah mati. Ini warga di Ngade juga berhak.
“No water, no life.” –Sylvia Earle. (*)
Tinggalkan Balasan