Barat, terutama orang Amerika, Inggris, Prancis, dan Jerman, menurut Farid dianggap sebagai satu-satunya perintis ide-ide ilmu sosial, sementara fakta lain bahwa sumber-sumber ilmu sosial bersifat multikultural sama sekali tidak disentuh. Padahal, pada abad 19 dan 20, banyak pemikir sosial India, Cina, Jepang dan Asia Tenggara yang sezaman dengan Marx, Weber, dan Durkheim, yang hanya disinggung sekilas dalam karya-karya sejarah sosiologi, bahkan sekarang mungkin tidak lagi dikenal. Contoh, Jose Rizal (Filipina, 1861-1896). Benoy Kumar Sarkar (India, 1887-1949), dan Yanagota Kunio (Jepang, 1875-1962) (Alatas, 2010: 195).

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, dalam buku mereka Sociological Theory, pernah menampilkan sekilas tentang Ibn Khaldun, tetapi apa inti pemikiran teoritis Ibn Khaldun dalam sosiologi sejarah mungkin tak lagi diketahui mahasiswa yang mempelajari sosiologi (Ritzer dan Goodman, 2003 : 6).

Kebergantungan Akademis

Dalam buku yang terdiri dari sembilan bab ini, Farid menyinggung soal orientalisme lama, yang selalu berada pada stigma dua dikotomi. Misal, Timur-Barat, Maju-Mundur, dan bersandar pada stereotype tertentu, ras dan prasangka (prejudice). Disinilah kemudian ketergantungan pada pemikiran Barat begitu kuat dan mempesona, yang lalu mengabaikan konteks gagasan lokal yang lebih genuine. Sehingga kita di Asia, jarang mewujudkan akar baru dari konsep kita sendiri. Kita lebih bergantung pada Barat. Inilah yang dinamakan Farid dengan kebergantungan akademis. Ada enam kebergantungan akademis. (1) kebergantungan pada gagasan; (2) kebergantungan pada media gagasan (seperti buku, jurnal ilmiah, prosiding konferensi, dan lain-lain); (3) kebergantungan pada teknologi pendidikan; (4) kebergantungan pada bantuan penelitian/pengajaran; (5) kebergantungan pada investasi pendidikan; dan (6) kebergantungan ilmuwan sosial di Dunia Ketiga pada permintaan barang akan kebutuhan mereka (Alatas, 2010:56).

Melalui bukunya, Farid ingin memberi penegasan kepada kita, bahwa meletakkan konsep Barat dan bukan Barat/lokal haruslah setara, sejagad dan universal, karena ilmu-ilmu sosial bersifat multikultur. Untuk itu, mempelajari pemikir-pemikir sosial, perlu juga digali khazanah pemikir-pemikir sosial di Asia atau selain Barat, untuk menemukan ke-universal-an dari ilmu sosial itu, sehingga dominasi pemikiran sosial Barat tidak terlalu mempengaruhi cara berpikir kita. (*)