Hal ini berbeda dengan dolus repentinus yang terdapat dalam Pasal 338 KUHP, yang sifat deliknya dilakukan dengan spontan tanpa berpikir panjang dan tenang, terkait dengan cara membunuh seseorang, sedangkan di sisi lain dalam pidana pembunuhan biasa, antara kehendak membunuh dengan pelaksanaan pembunuhan merupakan satu kesatuan.

“Motif” hanya suatu hal non hukum yang mana di luar dari normatif-deskriptif Pasal 340 KUHP. Hal ini sangat beralasan dikarenakan apabila kembali melihat unsur-unsur delik pembunuhan berencana, tidak sama sekali mencantumkan “motif”, sehingga secara hukum pidana “motif” patut dikesampingkan, dikarenakan yang dibuktikan nantinya dalam persidangan adalah delicts bestandelen “sengaja” dan “rencana lebih dahulu”. Dikarenakan ini bagian yang tak terpisahkan dari post factum atau akibat yang paling mendekati matinya korban tindak pidana.

Terakhir, penulis ingin sampaikan bahwa sengaja/niat jahat (mens rea) sebagai delicts bestandelen di atas merupakan motede berpikir pembentuk undang-undang untuk merasionalkan “mens rea” yang merupakan bagian dari keadaan psikis pembuat pidana yang masih abstrak menjadi wujud yang bisa dikonkritkan dalam perumusan unsur-unsur delik (moord), dengan tujuan membantu aparat penegak hukum dan korban dalam mencari kebenaran materiil.

Sehingga, “motif” tidak diperlukan, dikarenakan hanya berada dalam posisi untuk meringankan atau memberatkan perbuatan terdakwa dalam pemeriksaan sidang pengadilan, dan bukan sebagai inti delik (delicts bestandelen). (*)