Oleh: Dr. Hasrul Buamona, S.H.,M.H.
Advokat & Dosen Hukum Pidana Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta
______
PENULISAN ini berkaitan dengan kasus matinya Brigadir Yoshua yang diduga dilakukan secara berencana oleh Irjen Ferdy Sambo, di mana kasus ini telah menjadi perhatian publik Indonesia bahkan manca negara.
Oleh Tempo.co tertanggal 12 Agustus 2022 melalui Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi mengatakan dari pengakuan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Ferdy Sambo mengaku telah merencanakan pembunuhan Brigadir Yoshua sejak dari Magelang.
Dalam perkembangan kasus Brigadir Yoshua, sekarang muncul perdebatan panjang terkait “motif” dari beragam macam versi yang berdatangan, baik itu dari Irjen Ferdy Sambo, Penasihat Hukum Brigadir Yoshua ataupun versi dari Penasihat Hukum Bharada E. Dan pertanyaan terkait “motif” ini juga penulis melihat seperti dibesar-besarkan oleh pemberitaan media televisi swasta nasional, seakan-akan “motif” menjadi kunci utama membuktian perbuatan pidana dugaan pembunuhan berencana. Sehingga muncul pertanyaan, apakah “motif” diperlukan dalam kasus pembunuhan berencana?
Sejatinya pembunuhan berencana dan pembunuhan pada umumnya merupakan suatu tindakan jahat (mala in se/mala per se), yang walaupun tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), akan tetapi telah dinilai sebagai tindakan yang telah bertentangan dengan prinsip moral yang terdapat dalam kaidah agama itu sendiri.
Dalam ajaran hukum pidana, pembunuhan berencana ataupun pembunuhan biasa masuk dalam jenis delik materiil, di mana dalam delik materiil (de delicten met materiele omschrijving) yang menjadi fokus adalah akibat dari suatu perbuatan pembuat pidana (tersangka atau terdakwa) dalam suatu peristiwa pidana.
Tinggalkan Balasan