Selanjutnya, apabila hanya memidana pengurus saja, tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi, dengan demikian memidana korporasi dapat menaati peraturan yang bersangkutan (Muladi, 1991).
Menurut penulis, pengurus/direktur ataupun manajemen tidak bisa lari dari tanggung jawab hukum, walaupun tindakan tersebut dilakukan oleh pembantu/pegawai. Hal ini dikarenakan pegawai tersebut melakukan perbuatan pidana masih dalam hubungan kerja dalam korporasi tersebut, sehingga direksi bisa diminta tanggung jawab hukum pidana sesuai doktrin Vicarious liability.
Kasus ini merupakan kasus publik, yang sudah tentu dapat merusak pranata kehidupan berbangsa dan bernegara dan telah pula diduga melecehkan nilai-nilai agama tertentu. Selain itu, apabila melihat unsur “barang siapa” ataupun “setiap orang” sebagaimana termuat dalam KUHP dan UU ITE, yang saat ini telah dipersangkakan kepada 6 orang, yang secara hukum telah diketahui bahwa unsur-unsur ini terdiri dari manusia dan badan hukum.
Kasus ini lebih tepat dihukum dengan pasal-pasal yang terdapat UU ITE, dikarenakan perbuatan pidana yang dilakukan melalui media sosial. Selain diperkuat oleh doktrin-doktrin hukum di atas, maka Holywings telah layak dimintai pertanggungjawaban pidana korporasi, dikarenakan terminologi “Orang” dalam Pasal 1 angka 21 UU ITE, telah jelas menyebut bahwa “Badan Hukum” dikategorikan sebagai “Orang”, maka mutatis-mutandis pertanggungjawaban korporasi dapat dikenakan pada Holywings.
Terakhir, penegak hukum diminta berani untuk meminta pertanggungjawaban pidana Holywings sebagai korporasi dalam proses penyidikan yang seterusnya sampai pada penuntutan oleh Penuntut Umum ke muka persidangan pengadilan untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi Holywings sebagai badan hukum (rechts persoon), sehingga secara hukum Holywings dibekukan dan dilarang beroperasi di seluruh wilayah hukum Indonesia. (*)
Tinggalkan Balasan