Kedua, Strict liabillity merupakan doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yang diadopsi dari hukum perdata. Di mana teori ini mengesampingkan mens rea dalam pertanggungjawaban pidana, namun lebih berfokus pada pertanggungjawaban pidana, di mana cukup dibuktikan bahwa pembuat tindak pidana (pengurus korporasi/direktur) telah melakukan perbuatan atau actus reus yang merupakan perbuatan yang memang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

Ketiga, Vicarious liability. Doktrin ini menurut penulis sebenarnya diambil dari Pasal 1367 KUHPerdata yang berbunyi “seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya”. Pertanggungjawaban model ini diharuskan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain masih dalam ruang lingkup perkerjaan atau jabatan.

Konstruksi untuk menjawab mungkinkah korporasi dimintai pertanggungjawaban hukum, sedangkan pembuat pidana tersebut adalah pengurus yang sejatinya manusia. Telah dikenal 3 bentuk pertanggungjawaban korporasi, yaitu; 1) pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; 2). korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; dan 3). korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.

Perlu diketahui bahwa meminta pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan pengesampingan dari doktrin societas/universitas delinquere non protest. Sehingga menurut penulis, Polda Metro Jaya dapat dibenarkan secara yuridis untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi.

Dikarenakan, cara Holywings mencari keuntungan sebagai korporasi, diduga mengandung sara dan dugaan pelecehan terhadap identitas agama tertentu, yang mana ini berkaitan dengan muatan unsur-unsur pidana dan sanksi-sanksi pidana dalam pasal-pasal UU ITE sesuai LP/B/3135/VI/2022/SPKT/Polda Metro Jaya. Sudah pasti cara Holywings sangat tidak populer dan memberikan kerugian bagi masyarakat tertentu pula, dan juga telah melanggar norma agama dan norma kesusilaan yang adalah nilai hukum negara Indonesia sebagai negara Pancasila.

Apabila dihubungkan dengan doktrin Direct corporate criminal liability, doktrin Strict liabillity dan doktrin Vicarious liability, maka sangat tidak seimbang bila beban pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan hanya kepada pengurus.