Hukum pidana Belanda, korporasi sebagai subjek hukum pidana sudah diakui semenjak berlakunya Wet Economische Delicten (W.E.D) pada tahun 1950, walaupun masih terbatas untuk delik-delik yang diatur dalam W.E.D.

Pertanggungjawaban pidana korporasi kemudian dipertegas kembali dalam perubahan Wetboek van Straftrecht (W.v.S) pada tahun 1976 yang mengakui kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana umum (commune strafrecht).

Memang niat jahat (mens rea) selalu menjadi pijakan dalam melihat setiap unsur kesalah yang dilakukan oleh subjek hukum (natuurlijk persoon). Namun dalam konteks korporasi (rechts persoon), unsur mens rea tidak selalu menjadi syarat utama penjatuhan pidana.

Hal ini disebabkan suatu korporasi tidak memiliki unsur psikis (de psychische bedtanddelen) seperti halnya manusia. Terkait kesalahan korporasi, menurut Hulsman, seorang Guru Besar Hukum Pidana dari Rotterdam, dalam preadvisnya di hadapan persekutuan Yuris pada tahun 1966, menyampaikan bahwa unsur kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dapat diadakan oleh organ-organ dari korporasi atau pekerja lainnya yang menetapkan kebijakan organisasi (Jan Remmelink,2003). Artinya kesalahan tersebut dibebankan kepada pengurus korporasi, yang mana oleh van Bemmelen, juga dianggap sebagai kesalahan/kesengajaan dari korporasi.

Sekiranya terdapat 3 doktrin hukum yang biasanya digunakan oleh para yuris hukum untuk membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi.

Pertama, Direct corporate criminal liability (Barda Nawawi Arif, 2003). Doktrin ini berpatokan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh direktur sebagai tindak pidana korporasi.