Kedua, era ini merupakan zaman yang sangat kosmopolit, di mana milenial budaya dan kearifan lokal kita diuji, termasuk dimensi nilai keindonesiaan. Menurut Syafii A. Ma’arif, yaitu literasi keindonesiaan, adalah bagaimana Indonesia dipotret dalam dimensi nilai keadilan, niai kemanusiaan, nilai kebhinekaan serta nilai toleransi, yang kemudian diwujudkan ke dalam
makna keindonesiaan yang seutuhnya.

Ketiga, gempuran globalisasi saat ini menyebabkan terjadi perang tanpa bentuk (proxy war) dengan pertarungan teknologi informasi (internet of things) sebagai ideologi baru, yang mempengaruhi cara pandang, pola dan gaya hidup konsumtif dan individualis, yang berdampak tercerabutnya kearifan lokal dari nilai luhur lokal dan agama. Globalisasi menjadi senjata pembunuh nilai-nilai luhur dengan berbagai konten yang menyesatkan dan
bernilai negatif bagi generasi muda.

“Transformasi serta digitalisasi teknologi seperti kecerdasan buatan (artificial intelligent), mata uang digital (cryptocurrency), ataupun teknologi
pendeteksi sebaran ikan di laut (fish finder) merupakan sebuah lompatan teknologi yang biasa saat ini, sementara kita masih bergelut dengan pola dan perilaku konvensional. Artinya bahwa dampak globalisasi melewati dimensi
ruang dan waktu dimana negara tidak lagi memiliki batas secara virtual (borderless). Di ruang hampa globalisasi menjadi momok yang menakutkan, serta mempengaruhi nilai-nilai spiritualitas keluarga, masyarakat Indonesia,” tuturnya.

“Keempat, kita akan menghadapi bonus demografi 2030. Dunia pendidikan tinggi tidak selalu memberikan jaminan bekerja, sementara
pendidikan vokasi masih sangat terbatas dan kurang peminatnya. Bonus demografi menjadi pilihan agar kita mengelola usia produktif menjadi cikal bakal sumber daya insani yang unggul,” sambungnya.

Data penduduk Indonesia saat ini, 273,87 juta jiwa (per-31 Desember 2021), yang tersebar di 17.000 pulau, 514 kabupaten dan kota, 34 provinsi dengan sebaran 714 suku. Secara demografi, Indonesia menempati posisi
kelima dunia tentunya akan bersaing secara global. Sementara secara statistik terdapat sekitar 65 persen SDM masih pendidikan SMA, begitu pun lulusan SMK dan vokasi belum dipersiapkan secara kualitatif.

“Secara kuantitatif ada penambahan jumlah namun rasio produktif masih rendah. Ini tantangan kita menghadapi bonus demografi sekaligus menguji kemampuan kita mengelola usia produktif menjadi bakal sumber daya insani
yang unggul,” tukas Jusuf.