Volatility artinya dunia bergerak dan berubah yang sangat cepat dan tidak dapat diprediksi. Uncertainty dimaknai bahwa dunia ini penuh ketidakpastian. Di mana masa depan penuh dengan misteri dan bahkan pengalaman masa lalu atau pengalaman saat ini belum tentu dapat dijadikan acuan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Begitupun Complexity, bahwa dalam kehidupan manusia selalu melahirkan kompleksitas – artinya bahwa suatu masalah selalu berkorelasi dengan yang lain. Dan hanya solusi tepat yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Demikian pula dengan Ambiguity, bahwa dunia ini adalah sebuah kondisi yang tidak jelas
arahnya dan cenderung membingungkan.

“Artinya bahwa tatanan dunia dalam gempuran perubahan, mengharuskan kita bergerak cepat, solutif dan mampu membaca tanda-tanda perubahan yang terjadi. Kita berada pada kondisi dengan tantangan untuk menata masa depan sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa. Lantas apa yang mesti dilakukan dalam menghadapi kondisi ini. Karena sesungguhnya perubahan-perubahan ini bukanlah sebuah situasi baru bagi kita maupun dunia saat ini,” tukas Jusuf.

Sebelum pandemi, kata dia, para pemimpin besar organisasi dunia sudah menghadapi lingkungan yang terus berubah dan sulit diprediksi. Namun, krisis Covid-19 membuat intensitas kecenderungan perubahan semakin kuat. Para pemimpin dunia maupun eksekutif, tidak hanya menghadapi era disrupsi digital yang mengguncang struktur pasar dan menumbangkan industri lama, tetapi juga wabah penyakit yang telah membunuh lebih dari 3 juta orang dan menyeret negara-negara ke dalam jurang resesi.

“Dan masa depan ketidakpastian ini mesti kita hadapi. Bangkit dan recovery atau memulihkan diri dan gempuran pandemi. Sebagai generasi bangsa, terutama kita berharap banyak kepada para lulusan perguruan tinggi, kelompok usia muda, agar perlu menyiapkan strategi jitu dalam menghadapi kondisi ini. Bob Johansen (2009) menyatakan bahwa untuk menghadapi ancaman perubahan global, perlu langkah-langkah adaptif yaitu vision (visi), understanding (saling memahami), clarity (kejelasan serta kekuatan jejaring), serta agility (kelincahan). Kondisi ini mengharuskan kita untuk intens membenahi pola hidup di abad yang serba kompetetif dan individualistic ini,” terangnya.

3 Istilah VUCA ini muncul dalam teori kepemimpinan Warren Bennis dan Burt Nanus
pada 1987, yang kemudian digunakan dalam pelatihan kepemimpinan militer di US Army War College untuk menggambarkan situasi politik-keamanan yang berubah cepat di era 1990-an, dari keruntuhan Soviet hingga Perang Teluk.
4 Lihat Bob Johansen, dari Institute for the Future, melahirkan banyak pikiran dan
keranka kerja dalam bukunya yang berjudul Leaders Make the Future (2009).