Seorang nyai dari kalangan priyayi, tentu dia menempati keistimewaan lebih dibandingkan perempuan di zamannya. Tetapi ia dibantai berkali-kali, bagaimana dengan perempuan-perempuan yang hidup di atas bayang-bayang kerajaan hingga para penjajah? Tak mengherankan jika Paramita Abdurachaman menjuluki cerita Nukila sebagai “Niachile Pokaga ‘a sad story of Moluccas queen’” dalam jurnal modern Asian Studies di website Cambridge.org.
Barangkali kita harus berkaca pada memoriam Holocaust di Berlin. Bagaimana menghormati dan memperlakukan sebuah tragedi, ini bukan mengglorifikasikan sebuah kisah tapi sekurang-kurangnya mengundang kesadaran atas sejarah.
Harapan dari tulisan bermuara pada Pemerintah Kota Ternate, agar dalam upaya mem-branding kota Ternate sebagai Kota Rempah supaya turut memasukkan Nukila sebagai aroma. Setidaknya menulis secuil sejarahnya, sebagai pengingat atas tragedi yang pernah menimpa Nukila.
Akhirnya sebagai akhir dari risalah ini, saya menitipkan satu permintaan bagi seluruh pembaca, setelah membaca tulisan yang sederhana ini, agar menjadi tuntunan adab kita ketika berkunjung. Meski persisnya kejadian itu tak berlakon di atas taman itu, tapi namanya menyimpan rintihan dan tangisan. (*)
Tinggalkan Balasan