Pembabakan pertama dimulai ketika Nukila berusia 15 tahun. Konflik antara dua kerajaan (baca: Ternate dan Tidore) telah lama menganga, Nukila dipaksa menjadi air untuk menyejukkan pertikaian itu. Nukila adalah putri kesayangan sultan Tidore Al-Mansyur (1512-1526), lalu menikah dengan sultan Ternate Bayanullah (1500-1522) menjadi istri atau permaisuri raja ke-20. Kolonia memainkan siasat devide et impera untuk menyeret anak usia 15 tahun menikahi raja yang berusia 50 tahun.
Dalam acara pameran tunggal Seruni Bodjawati dan peluncuran buku Esthi Susanti Hudiono, Toeti Herati menuturkan “Portugis jadi penasehat sultan Ternate, membantu Sultan menaklukkan Tidore. Lalu menjadi mak comblang putri 15 tahun sama raja 50 tahun”.
Pembantaian Boki Raja dimulai, jika menganalisis dari sisi biologi usia 15 tahun adalah usia anak. Secara fisik dan mental, Nukila begitu rentan untuk memikul beban sebagai istri, ibu dan bahkan menjadi permaisuri. Atau pernahkan kita bertanya, apakah Nukila menginginkan pernikahan ini atau dengan beban hati ia berkemas lalu berjalan menuju gerbang petaka di hadapannya? Atau jangan-jangan Nukila telah mengkalkulasikan segalanya lalu mengokohkan hatinya seperti Kie Matubu untuk memikul kaki Gamalama? Hanya Nukila yang tahu persisnya.
Atas perkawinan ini Nukila melahirkan dua anak laki-laki; anak tertua adalah pangeran Hidayat (Dawayu/Dayalo) sekaligus memangku gelar putra mahkota dan pangeran kedua bernama Abu Hayat (Boheyet). Di saat usia belia anak-anaknya, ia harus mengecap status janda karena suaminya sultan Bayanullah diracun dan wafat pada tahun 1521. Pangeran Hidayatullah sempat dinobatkan dengan gelar sultan tetapi karena usianya masih 6 tahun, Nukila harus mendampingi anaknya untuk memimpin tahta dengan memangku mahkota sebagai sultanah.
Internal di kerajaan Ternate bergejolak, pangeran Taruwese melakukan tindakan makar dan mengkudeta Nukila karena dia merasa paling berhak atas tahta. Lagi-lagi Portugis tidak absen dalam kesemerawutan ini. hingga berujung pada wafatnya sultan Tidore Al-Mansyur (1521) akibat diracun. Dalam selang waktu 5 tahun, Nukila kehilangan ayahnya lagi. Setelah menjadi ibu tunggal, Nukila kini menjadi piatu. Pembantaian dalam babak kedua, Nukila harus memikul beban ganda dalam ranah privatnya saat bersamaan menghadapi intrik politik atas kekuasaan di tahtanya.
Dari pertempuran dan kudeta yang dilakukan oleh pangeran Taruwese, perang saudara pecah dan memaksa sultanah Nukila dan pangeran Hidayatullah mencari suaka ke tanah asalnya Tidore. Sepertinya pangeran Taruwese belum puas, ia kembali melakukan serangan bersama Portugis (1529), dan menggugurkan pangeran Hidayatullah akibat terkena tembakan tentara Portugis (M. Adnan Amal; 2002). Singkat cerita tahta Ternate beralih ke pangeran Abu Hayat (1529-1533), tapi tak lama menjabat Portugis Kembali memainkan siasat dengan memfitnah agar Sultan Abu Hayat lalu menjebloskannya ke penjara. Saat berada di dalam tahanan, dia wafat diracun.
Ini menjadi pembantaian ketiga untuk Nukila, kematian kedua anaknya menjadi rantai yang mengikat lehernya ke titik nadir ketidakadilan. Nukila kehilangan subjektivitasnya dan menjadi ‘yang lain’, opresi kekuasaan dan penjajahan atas rempah memasung tubuh seorang perempuan untuk dibantai berkali-kali.
Puncak pembantaian berakhir Ketika Nukila diasingkan ke Goa, India. Dia teraleniasi dari rumahnya yaitu kerajaan Ternate dan Tidore, kemudian atas dasar pembatisan dirinya menjadi Katolik. Nukila dituduh murtad atas tanahnya, setelah itu Nukila terputus dari intrik dan kebisingan politik yang kejam. Dona Isabela mungkin menjadi titik mulai Nukila menjadi manusia bebas. Tapi itu hanya negasi dari penguasaan tubuhnya dalam bentuk lainnya, pembantaian Nukila mengakhiri hayatnya sebagai Vasal Portugis.
Tinggalkan Balasan