Tandaseru — Serikat Pekerja Nasional (SPN) Maluku Utara menilai manajemen perusahaan pembiayaan PT Finansia Multi Finance (Kredit Plus) Ternate keliru memahami aturan ketenagakerjaan.
Hal ini diungkapkan Sekretaris SPN Malut Sofyan Abubakar menanggapi keterangan Branch Manager Kredit Plus Ternate Suardi soal pemberhentian salah satu karyawan.
“Menurut hemat kami statement tersebut sangat absurd yang justru menunjukkan ketidakprofesionalitas seorang branch manager dalam mengemban tugas,” ungkap Sofyan dalam siaran persnya, Kamis (17/3).
Sofyan mengatakan, pernyataan yang dikeluarkan manajer justru menabrak regulasi. Kesalahan pertamanya adalah belum mampu membedakan konsep perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Ia menjelaskan, konstruksi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Pasal 2 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 memberikan ruang kepada pengusaha untuk membangun hubungan kerja, baik dengan status PKWT atau PKWTT. Penggunaan hubungan kerja dengan status PKWT didasarkan hanya dua hal, yaitu berdasarkan jangka waktu dan berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu.
“Jika perusahaan menggunakan PKWT berdasarkan jangka waktu maka hanya dimungkinkan memenuhi tiga hal, yaitu satu, pekerjaan diperkirakan selesai dalam waktu tidak terlalu lama. Dua,bersifat musiman, dan tiga, berhubungan dengan produk baru/kegiatan baru,” terangnya.
Ia menuturkan, Kredit Plus Ternate bukanlah jenis perusahaan yang dapat menerapkan sistem kontrak PKWT kepada karyawan yang telah di-PHK.
“Sebab kita tidak dapat mengetahui sampai kapan keberadaan perusahaan Kredit Plus berada di Ternate. Dan jenis pekerjaan karyawan yang di-PHK tersebut bersifat pekerjaan tetap, sehingga sejak awal harusnya karyawan tersebut sudah berstatus sebagai karyawan tetap, bukan karyawan kontrak (PKWT).
Kekeliruan kedua adalah soal pesangon yang tidak diberikan kepada karyawan magang atau kontrak.
“Karyawan yang mengalami masa magang atau mengikuti proses training adalah karyawan yang akan menjadi karyawan tetap (PKWTT), sebab hanya karyawan tetap sajalah yang dapat dilakukan proses magang atau training. Jika perusahaan menerapkan kontrak PKWT dan sebelumnya karyawan tersbeut mengalami masa training, maka karyawan yang bersangkutan tidak tepat diterapkan perjanjian PKWT, harusnya perjanjian PKWTT. Sebab hanya PKWTT itulah yang melekat syarat adanya sistem magang,” papar Sofyan.
“Karyawan yang telah di-PHK tersebut oleh perusahaan menerapkan perjanjian (PKWT) padahal yang bersangkutan telah mengalami masa training. Sehingga memurut hemat kami, karena karyawan tersebut pernah mengalami masa training maka seharusnya status hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan dihitung sebagai karyawan tetap dengan sistem kontrak (PKWTT) sejak yang bersangkutan menyelesaikan masa training selambat-lambatnya 3 bulan. Maka tidak tepat jika perusahaan menerapkan sistem training dan pada akhirnya setelah training perusahaan membuat perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Hal ini merupakan kesesatan yang nyata,” sambungnya.
Kekeliruan ketiga, kata Sofyan, perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja didasari alasan karyawan tersebut melakukan tindakan indisipliner karena sering terlambat masuk kerja. Keterlambatan tersebut dihitung perusahaan sejak 2020, 2021 dan 2022 sehingga dilakukan PHK.
“Hal inilah yang menurut hemat kami perusahaan telah keliru memahami dengan baik ketentuan UU Ketenagakerjaan. Sebab dimensi hukum ketenagakerjaan telah mengalami perubahan karena telah menghapus, menambah dan mengubah sebagian pasal dalam undang-undang,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan