Tandaseru — Tim Kuasa Hukum AG, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, mengkritisi pernyataan Kepala Kejaksaan Negeri Haltim yang mengklaim sidang praperadilan AG dimenangkan kejari.
Selain itu, tim yang terdiri atas Hendra Kasim, M Afdal Hi Anwar, Julham Djaguna, dan Ahmad Rumasukun ini akan melaporkan Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, atas keputusannya dalam praperadilan ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI.
AG sendiri merupakan tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Stadion Kota Maba.
Melalui siaran persnya, Hendra menyatakan selaku pemohon pihaknya menghormati putusan praperadilan yang dibacakan Hakim Tunggal PN Soasio.
“Karena kami menyadari asas hukum res judicata pro veritate habetur,” tuturnya, Selasa (22/2).
Meski begitu, ia menegaskan dalam pembacaan putusan tersebut tak ada atau tak termuat dalam amar putusan frasa “dimenangkan oleh Kejari Haltim”. Sebaliknya, yang termuat dalam amat putusan hanyalah “Dalam Eksepsi: Menolak Eksepsi Termohon untuk seluruhnya karena tidak cukup beralasan menurut hukum” dan “Dalam Pokok Perkara: Menolak Permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya”.
“Sehingga menjadi lucu dan tidak etis apabila frasa ‘dimenangkan oleh Kejari Hatim’ diucapkan lewat media oleh penegak hukum (Kejari Haltim). Sikap Kejari Haltim yang menafsirkan amar putusan a quo dengan bahasa ‘dimenangkan oleh Kejari Haltim’, frasa ini selebihnya merupakan frasa di pasar-pasar, bukan frasa hukum. Untuk itu, saran kami janganlah bertutur demikian karena Kejari itu Aparat Penegak Hukum. Kami sejak awal persidangan hingga putusan a quo sangat menghargai perbedaan pendapat bahkan besepakat untuk berbeda dengan pendapat Ahli Termohon dalam hal memaknai beberapa putusan MK a quo, yang diperdepatkan penerapannya dalam permohonan praperadilan a quo,” jabar Hendra.
Hendra dan rekan-rekannya juga menilai pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam perkara tersebut sangat keliru atau cacat yuridis. Pasalnya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015, jo Putusan MK Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015, jo Putusan MK Nomor 130/PUU/XIII/2015 jo, Surat Edaran MA RI No 4 Tahun 2016, jo Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 dan segala ketentuan perundang-undangan terkait “kerugian keuangan negara” yang sifatnya harus nyata/pasti/riil mendahului tindakan penyelidikan malah ditafsir lain oleh Majelis Hakim.
“Padahal semangat atas Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 telah tegas menyatakan tentang Status Delik yang ada pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UUTPK adalah Delik Materiil, itu artinya bahwa minimum dua alat bukti pada Pasal 1 butir 14 KUHAP (bukti permulaan) harus cukup mampu menunjukkan secara nyata dan pasti adanya kerugian keuangan negara. Namun yang terjadi dalam perkara a quo justru sebaliknya,” terang Hendra.
Tinggalkan Balasan