Tandaseru — Provinsi Maluku Utara dan 10 kabupaten/kota di Malut masih masuk dalam zona merah dari sisi kemandirian fiskal. Hal ini berdasarkan laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tahun 2021.
Ekonom Malut, Dr. Aziz Hasyim, SE, M.Si, menyatakan masuknya daerah di Malut dalam zona merah tersebut disebabkan ketergantungan terhadap dana transfer dalam pembiayaan pembangunan masih sangat besar.
“Artinya kapasitas fiskal kita sangat rendah sementara kebutuhan fiskal untuk belanja pembangunan sangat tinggi,” ungkap Aziz kepada tandaseru.com, Kamis (20/1).
Rata-rata derajat desentralisasi fiskal untuk Provinsi Maluku Utara dan 10 kabupaten/kota, sambungnya, masih kategori sangat kurang. Artinya masih sangat kurang mandiri.
“Kondisi ini disebabkan belum optimalnya pengelolaan sumber pendapatan di daerah. Padahal dengan mengoptimalkan sektor-sektor unggulan di Maluku Utara, seperti pertanian, perikanan dan pariwisata akan mendorong peningkatan pendapatan asli daerah,” tutur Aziz.
Menurut jebolan Institut Pertanian Bogor ini, hal lain yang menyebabkan daerah-daerah di Malut masuk zona merah adalah belum maksimalnya penerimaan dari sektor pajak, seperti pajak air permukaan dan kendaraan di area pertambangan. Hal ini mempengaruhi besaran nilai dana bagi hasil (DBH) pajak yang diterima daerah.
“Padahal Undang-undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah mengamanahkan hal tersebut secara tegas. Sebagai contoh jumlah kendaraan yang banyak di Ternate dengan pelat nomor luar daerah ini sangat merugikan bagi daerah. Sebab pajak kendaraan dibayarkan pada daerah asal nomor pelat. Karenanya harus ditertibkan sehingga dapat mendorong peningkatan pendapatan daerah dari sektor pajak,” tandas Aziz.
Tinggalkan Balasan