Malik bilang, awal ia berproses membuat gula aren penuh tantangan. Meski begitu hasil yang ia dapatkan sangat menunjang pada saat masih bujang hingga kemudian berumahtangga.

“Tahun 2005 sampai tahun 2017. Kalau dia punya pasaran itu bagus, tapi tahun 2005 sampe tahun 2009 harga masih di bawah. Kalau tidak salah itu per biji (gula aren) Rp 1.500 rupiah, kalau satu gandeng dia 10 biji itu 15 ribu,” rincinya.

Gula aren buatan Malik dijual di semua pedagang kecil bahkan sampai ke toko besar di Kota Tobelo, Halmahera Utara.

“Sesuai dengan standar harga. Kita jual sampai di Daruba sampai pada tingkat di Tobelo karena dong (mereka, red) lihat juga dari kualitasnya. Kalau dia punya kualitas bagus, penjualan juga lancar,” jelasnya.

Penjualan gula aren paling menguntungkan terjadi pada 2011-2017.

“Saya jual per biji Rp 15 ribu, jadi per gandeng Rp 150 ribu. Itu saya kase masuk di toko-toko besar,” ujarnya.

“Hasil per bulan semua saya tara hitung karena banyak kebutuhan keluarga yang saya nafkahi. Tapi saya perkirakan sekitar Rp 15 juta karena dalam satu bulan itu dia tiga hari sekali buatnya,” tambah Malik.

Selain peralatan lain, Malik bilang alat pembuat gula aren yang  paling penting adalah belanga berukuran besar.

“Pisau, belanga nomor 30. Tapi kalau air aren yang saya dapat kadang belanga itu tidak mampu tampung dan terlalu kecil belanganya. Terus satu hari kalau pohonnya masih standar 10 pohon. Itu dua hari sekali masak kita bisa dapat 30 sampai 40 biji lebih,” terangnya.

Saat ini pohon aren yang sudah memasuki masa panen kian banyak. Namun Malik kadung ‘gantung belanga’. Menurutnya, pembuatan gula aren secara tradisional tak mampu lagi memenuhi kebutuhan pasar. Di sisi lain, ia tak punya modal untuk membeli kompor gas untuk memasak gula.

“Peralatan yang lama juga sudah pada rusak, tinggal belanga,” ucapnya lirih.