Kedua, reklamasi akan menjadi free rider (penunggang bebas) kandidat lawan untuk melangenggkan kampanye menyerang (attacking campaign) terhadap petahana dengan menguak sisi kelemahan ketidakmampuan menyelesaikan proyek reklamasi sekaligus memposisikan reklamasi sebagai bumerang politik pada pemilih, dan tak segan-segan, berpotensi dimainkan dengan nada provokatif. Misalnya, dibawa pada ranah gosip, fitnah, pembunuhan karakter, hoaks, berita palsu (fakenews), bahkan ujaran kebencian (hatespeech) pada masyarakat yang berbeda pilihan politik. Tentu ini bukan hal baru dalam politik lokal kita yang rentan dengan upaya saling mendelegitimasi.
Maka dapat dipastikan, momentum Pilkada 2024 adalah ranah kampanye predatoris yang mendistorsi hakikat komunikasi persuasif dan meruntuhkan etos demokratik yang di dalamnya tersamai bagus nilai-nilai prinsipil berdemokrasi. Orasi-orasi dalam kampanye politik akan mengesploitasi isu berdaya ledak tinggi sehingga berpotensi menciptakan gelombang konflik antar pendukung. Apalagi, cluster pemilih kita yang masih cenderung over fanatik dalam politik, seolah-olah meyakini pikirannya yang paling benar dan yang berseberangan pilihan politik adalah orang yang salah (mental bigot). Untuk meretas jalan terjal problem politik ini butuh komitmen elit politik untuk tidak membakar bola api di tengah suasana kompetitif yang cenderung panas.
Kita berharap para politisi dapat berkomitmen untuk melangsungkan kampanye politik yang dibangun dengan diskursus publik melalui sentuhan berpikir dan berinteraksi yang mencerahkan, serta ada tanggung jawab politik untuk membangun lagi moralitas demokrasi politik kita yang diseret lantaran adanya keinginan matematika politik. Secara subtansi, kampanye harusnya menunjukkan otensitas politik yang terurai jelas dengan menggunakan pendekatan literasi politik untuk mambangkitkan harapan keterpilihan dan berupaya untuk memandang kampanye tidak sebatas retorika sloganistik melainkan dengan implementasi kerja. (*)
Tinggalkan Balasan