Dari kejauhan terlihat titik hitam yang silau diterangi cahaya matahari berlahan di tengah laut. Kian kemari titik-titik hitam itu membesar dan menjadi tiga sampai empat titik. Itu bukan potongan-potongan kayu yang hanyut terbawa arus. Tapi perahu-perahu nelayang yang pulang. Para ibu yang semula berkumpul di bawah pohon segera bubar dan masing-masing masuk ke dalam rumah, menunggu suami mereka di atas galampa. Si istri memindahkan ikan beberapa ekor untuk keluarga. Beberapa ekor yang lain dikasih pada tetiap orang atau sodara yang juga ikut menunggu di atas galampa. Sebagian lagi akan dijual. Kalau para pembeli ikan tidak datang di pulau, mereka harus mendayung lagi ke desa yang berada di pulau lain untuk menjual ikan. Mereka harus mendayung dua sampai tiga kilo lagi. Uang hasil jual ikan itu akan dipakai beli beras, gula, garam, dan yang lainnya. Sebagian ada yang ditukar dengan kue-kue untuk anak-anak di rumah.
Bila telah malam keluarga ini dan keluarga yang lain lebih sering berkumpul di galampa. Jika malam begitu hangat, orang-orang berkumpul di atas galampa, mencoba akrab, ada yang berbaring, ada duduk-duduk saja. Sambil memandang laut yang gelap. Lampu-lampu lilin dan obor botol dinyalakan. Menerangi cukup terawang wajah saja. Seakan hanya wajah itu yang ingin dilihat. Entah apa yang diobrolkan.
Sesekali terdengar suara mesin laut yang melaju begitu saja. Hanya suara yang terdengar. Terlalu cepat menjauh. Terlalu cepat sudah meninggalkan. Tak terkejar. Dalam kegelapan, yang jauh menjadi tidak kelihatan. Sehingga hanya yang dekat saja bisa menjadi pegangan.(*)
Tinggalkan Balasan