Tak ada sekolah di pulau Tawale. Anak mereka yang kedua, sudah berumur delapan tahun belum juga masuk sekolah. Ia menjadi teman adiknya bermain pasir dan tanah ketika si ibu sedang sibuk di dapur. Setiap hari anak-anak mencakari tanah dan pasir atau bermain ombak dan sering pulang mengadu pada ibu kalau di pasir ada cacing laut dan semut yang menggigit. Setiap kali mengadu ibunya memarahi mereka dengan berkata, “Sudah kubilang jangan lagi bermain pasir dan tanah, kotor dan menyakitkan dan bisa tenggelam.”
“Menyakitkan dan tenggelam”, anak-anak itu tak pernah mengerti maksud ibunya. Menurut mereka sakit kalau digigit semut atau cacing laut, sedangkan tanah tak pernah menggigit. Setiap hari mereka bermain pasir dan tanah, selalu saja ada kesenangan yang baru. Setiap hari pula ibunya akan memarahi dengan kata-kata yang sama.
Dan anak-anak di pulau Tawale yang sebaya dengan anak kedua itu bahkan yang sudah berumur sembilan tahun belum juga terdaftar di salah satu sekolah. Sekolah hanya ada di pulau lain, anak-anak yang akan didaftarkan di salah satu sekolah pertama-tama anak-anak sudah harus siap tinggal di pengampunan tempat mereka sekolah. Artinya, anak-anak terlebih siap fisik untuk bisa sekolah. Karena anak-anak akan melakukan pekerjaan-pekerjaan selama tinggal di pengampunan melampaui usia mereka.
Bila sore anak-anak di pulau Tawale mengganti permainannya. Mereka suka saling kejar di dalam air dan saling lempar dengan pasir basah. Yang satu akan menyebut dirinya sebagai cacing laut yang akan menggigit teman-temannya yang lain, yang satunya lagi berperan sebagai ksatria yang mengusir cacing laut. Anak-anak dibiarkan bermain hingga langit tampak gelap dan anak-anak tampak menggigil kedinginan. Hanya ada satu sumur untuk semua. Di sumur ini anak-anak bersepul dengan air satu timba dari bekas kaleng cat tanpa membasuh tubuh dengan sabun, anak-anak langsung berlarian ke rumah mereka masing-masing. Dan begitu seterusnya.
***
Tinggalkan Balasan