Oleh: Julfikar Sangaji

______

FENOMENA La Nina merupakan keadaan yang menyuruh orang ‘was-was’ terutama bagi mereka yang tinggal di dekat sungai/kali. Karena di masa seperti ini untuk tidur pulas sedikit susah meskipun harus beralas bantal dari bulu angsa. Terlebih konsentrasi lebih besar ke air agar tak tumpah dari badannya. Sedangkan di siang hari mereka akan mondar-mandir di bantaran kali sembari mengusap dada mengutuk menyalahi hujan.

Kondisi yang ruwet ini juga dialami petani kopra (kelapa dalam). Biarpun harga pasaran cukup membangkitkan gairah kerja (per kilogram kopra Rp 10.500 – harga di pengepul wilayah Oba) namun di musim pancaroba ini seolah dituntut lebih cermat menghitung waktu supaya tepat menjatuhkan buah kelapa di atas lantai kebun.

Apabila perhitungan itu meleset maka di sepanjang hari mereka akan gundah, lalu dalam keheningan berharap agar hamburan buah kelapa itu tetap diam di tempat. Nasib baik hujan reda atau hujan tak deras tetapi bilamana situasinya berpaling maka kocar-kacirlah puluhan ribu buah kelapa itu, hanyut serta sebagian besar terhempas ke muara hingga lepas ke laut.

Barangkali senasib dengan para petani bulanan (holtikultura) yang sekarang ini pasarnya amat menjanjikan tetapi dengan teknologi/teknik serba terbatas maka tentunya gagal panen manjadi rentan.

Tentu hal yang sukar juga tak terlepas dari yang dirasakan nelayan, oleh karena telah membuat mereka harus bergeming dan sambil bergurau “jangan sekali-kali melucurkan sampan, sungguh tinggi ombak di laut”. Karena itu maka kita akan berpuasa untuk makan ikan, kalau tidak, ya silahkan harga melambung menanti di pasar.

Mengapa keadaan jadi rumit begini? Sudah hujan deras, petir menyertai, angin kencang, gelombang tinggi, banjir dan longsor mengintai. Sepantasnya ini yang disebut dampak dari krisis iklim, salah satunya anomali cuaca menjadi tak mudah ditebak.