Dengan jujur, kita dapat mengatakan, orang Galela saat ini-di-sini tidak punya jalannya sendiri sebagai subjek yang memiliki sejarah, konteks ke-di-sini-an, dan jalan masa depannya. Orang Galela selalu menjadi objek-instrumental dari bayang-bayang kekuatan hegemoni luar. Demikian bisa kita lihat dalam berbagai momen, dalam setiap momen, orang Galela hadir sebagai “tubuh peragaan” dari kepentingan dan hasrat-hasar kuasa yang datang dari luar.
***
Kita bisa memulai itu dengan kembali mengorak “Libuku Iha” sebagai akar orang Galela. Kita memulai membayangkan orang Galela dalam bingkai empat sudut ini. Yesaya Banari lah yang pertama kali memperkenalkan saya dengan konsep Libuku Iha pada kali waktu di Sanggar Dabiloho di Tanjung Pilawang, Tobelo. Dabiloha, persisnya adalah “harapan” yang ingin diwujudkan dari apa yang disebut orang Galela sebagai Libuku Iha. Ya, Dabiloha bermakna “keindahan”. Tapi keindahan itu hanya bisa dicapai setelah Orang Galela kembali menjahit empat sudut (Libuku: sudut/arah, Iha: empat).
Orang Galela melihat struktur hidup dalam moda Libuku Iha ini. Seperti sebuah pohon yang terdiri dari: akar, batang, ranting, daun dan buah. Dapat dibilang, Libuku Iha inilah lembaran ajaran-ajaran tradisional orang Galela yang menyinggung banyak hal. Kita dapat belajar tentang manusia sebagai individu cum manusia sebagai masyarakat sekaligus sebagai pandangan dunia. Berikut kita lihat tiga model pemaknaan Libuku Iha:
Pertama: Libuku Iha memuat ajaran-ajaran spiritual sepertiĀ rohe (tubuh), gurumi (ruh), goma (jiwa), dan Giki Moi (Tuhan). Orang Galela melihat keempat libuku ini sebagai satu kesatuan yang berhierarkis. Setiap libuku memiliki posisi dan peran masing-masing. Rohe/tubuh adalah wadah bagi gurumi/ruh, dan melalui goma/jiwa manusia berhubungan dengan Pencipta, yakni Giki Moi.
Tinggalkan Balasan