Oleh: Rahmat Mustari
______
GALELA, ada beberapa wadah yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk memenuhi harapan orang-orang yang tidak puas dengan perjalanan sosial orang Galela. Tapi wadah-wadah itu, pertama daya terima masyarakat yang sudah begitu lemah, juga cenderung pragmatis (instrumental-politis) di tangan aktor-aktor yang berkepentingan. Kepatuhan masyarakat menjadi modal untuk mendongkrak keinginan aktor.
Berbeda dengan wadah yang lain, meski sekadar saja perserikatan bola, Persega sudah lama tertambat dalam hati orang Galela. Emosional terhadap Persega tidak hanya ada pada kalangan pesepakbola anak muda dan orang tua, bahkan anak-anak di bawah usia Persega menjadi idola klub sepak bola mereka. Di beberapa tempat di Galela, Mubes I Persega menjadi wacana anak-anak. Apa yang mereka tahu tentang mubes? Tentu tidak. Tapi mereka membicarakan klub idola mereka. Ada nama besar Galela di situ dan peristiwa-peristiwa historis yang dilalui.
Mubes I Persega menjadi kacamata lain untuk melihat. Betapa pun sampai sekarang, bisa dibilang Persega sekadar romantisme sejarah. Karena itu, kecenderungan yang tertanam dalam benak–bahkan dalam benak tokoh/sesepuh orang Galela, mubes I Persega lebih disemangati sebagai upaya mengembalikan kejayaan Persega serupa masa lalunya. Mungkin romantisisme itu, daya terima masyarakat begitu kuat untuk Persega. Kita akan sering mendengar di tengah orang Galela, “Persega adalah harga diri”.
Dengan begitu, romantisme orang Galela yang begitu kuat dengan Persega, mungkin Persega dapat diperluas tak melulu soal menggulir bola di atas lantai yang hijau. Persega mungkin dapat dibayangkan sebagai instrumental-kultural. Yang mengimajinasikan perjalanan Orang Galela dalam tiga dimensi ruang dan waktu: masa lalu, saat ini-di-sini, dan akan datang.
Tinggalkan Balasan