Dari pasal-pasal di atas, jelas bahwa rekam medis melekat sifat wajib yang harus dilaksanakan baik oleh dokter dan rumah sakit itu sendiri, dan rekam medis juga mempunyai fungsi sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum. Alat bukti khusus dalam pidana, maka wajib berpedoman pada Pasal 184 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 184 ayat (1)disebutkan alat bukti terdiri dari: a) keterangan saksi; b) keterangan ahli; c) surat; d) petunjuk; d) keterangan terdakwa.
Kerangka dasar pembuktian atau alat-alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia, menggunakan teori negatife wettelijk bewisjtheorie yang menyatakan bahwa pembuktian harus didasarkan pada ketentuan undang-undang dan dasar keyakinan hakim, yang dimaksud ketentuan berdasarkan undang-undang adalah terpenuhi sekurang-kurangnya adanya dua alat bukti yang sah atau alat bukti yang ditentukan undang-undang yang mendukung dakwaan.
Menjadi persoalan hari ini dalam lapangan hukum kesehatan, kedudukan rekam medis dalam fungsi sebagai alat bukti seringkali dikesampingkan oleh penegak hukum lainnya misalnya polisi, jaksa dan hakim. Hal ini disebabkan rekam medis dalam fungsi sebagai alat bukti hanya diatur melalui peraturan teknis yang dibuat oleh Menteri Kesehatan yakni PERMENKES No 269/MENKES/PER/III/2008. Menurut penulis, maka dari itu sangat penting ke depan politik hukum rekam medis sebagai alat bukti harus didorong untuk diatur dalam produk hukum undang-undang. Secara lex generalis bisa diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Acara Pidana ataupun secara lex specialis bisa diatur dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Sakit atau Rancangan Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Dalam pandangan penulis, alat bukti adalah elemen dasar dan penting dalam memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana seseorang. Dikarenakan dalam rekam medis, terdapat elemen sebagai alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat, maka secara mutatis mutandis ini merupakan bagian dari hukum pidana formil yang tujuannya menegakkan hukum pidana materil. Telah diketahui bahwa alat-alat bukti menjadi dasar pembuktian untuk memberikan sanksi pidana terhadap dokter, baik yang terdapat dalam KUHPidana, UU Rumah Sakit, UU Tenaga Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran. Artinya ketika alat-alat bukti menjadi dasar pemenuhan unsur dalam pemidanaan, maka ke depan seharusnya rekam medis sebagai alat bukti tidak diatur melalui peraturan teknis Menteri Kesehatan yakni PERMENKES No 269/MENKES/PER/III/2008, dikarenakan tidak sesuai dengan politik hukum pemidanaan dan prinsip negara hukum (rule of law) serta HAM.
Tinggalkan Balasan