Padahal diketahui bersama dalam buku Kelembagaan Pemerintah Daerah untuk Penguatan Masyarakat Lokal dalam Mencapai Efektifitas Otonomi Daerah (2003) editor Nyayu Fatimah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI), secara singkat menjelaskan sejarah pembentukan Kota Ternate pada awal masa kemerdekaan, Kota Ternate adalah merupakan ibu Kota Karesidenan Maluku Utara yang dipimpin oleh seorang Residen. Kemudian pada tahun 1950, berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 1950 tentang Pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT), Maluku dibagi menjadi dua daerah yaitu, Maluku Utara dan Maluku Selatan. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1957 tentang Pokok Pemerintah Daerah mulai dilakukan otonomi ril. Untuk itu atas dasar Undang-Undang tersebut dikeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1957 yang menjadi dasar pembentukan Daerah Otonomi Maluku Utara. Sedangkan penetapan Kota Ternate sebagai pusat Pemerintahan Daerah tingkat II Maluku Utara diwujudkan melalui Undang-udang Nomor 60 tahun 1958. Oleh karena itu Kota Ternate kemudian menjadi Kota Otonomi dengan dipimpin oleh seorang wali kota yang didampingi oleh Dewan Kota.
Akhirnya setelah 17 tahun berstatus sebagai kota administratif, Kota Ternate pada tanggal 27 April 1999 oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia diresmikan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Ternate dengan ditandai oleh pelantikan Syamsir Andili sebagai Pejabat Wali Kota. Namun tidak lama kemudian diberlakukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Oleh karena itu Kotamadya ini berubah lagi menjadi Kota Ternate.
Kiprah Kota Ternate, sebagaimana dikutip website resmi Pemerintah Kota Ternate: ternatekota.go.id, terlihat salah satu poin dalam visi-misi Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh mantan Wali Kota almarhum Burhan Abdurahman dan Wakil Wali Kota Abdullah Tahir adalah mewujudkan Ternate yang menghormati, menjiwai dan bangga dengan kebudayaan, adat dan tradisi (adat se atoran) daerah sendiri.
Kiranya pemuda punya kontribusi dalam memanfaatkan cagar budaya, sebagai contoh syair dola bololo, tarian, bahasa, musik, lagu, pakaian adat, pantun, gong, tifa, dan lainnya sebagai identitas jati diri yang dihidupkan, diwariskan kepada generasi akan datang. Untuk itu, lewat komunitas-komunitas yang lahir di Ternate tujuan merawat cagar budaya tersebut dengan cara, mempelajari, membaca, menulis, mempraktikkan, dan meneruskan kepada pemuda pemudi di era sekarang ini.
Sebagai penanda, bukan saja pemuda tetapi pemudi yang tidak terlepas dari kesetaraan gender; genre ini dipakai membentuk kepribadian seorang perempuan dalam cika bakal pernah dinobatkan kerajaan Ternate dengan gelar “Ratu Nyai Cili alias Sultanah Nukila Boki Raja”. Ia menjadi pemimpin perempuan pertama dalam sejarah Kesultanan Ternate meski tidak dianggap sebagai raja resmi karena memerintah hanya untuk sementara.
Tinggalkan Balasan