Sementara kita lihat pelbagai alasan tumbuhnya kebudayaan yang mengglobal. Sebagaimana dipaparkan oleh Fred di atas, meningkatkan kolonialisme yang masih keterkaitan dengan masuknya bangsa Portugis dan Belanda. Ini sebenarnya belum adanya pembangunan yang berkelanjutan untuk mengarah kepada pelestarian cagar budaya. Hanya terjadi pada bangunan-bangunan peniggalan Portugis dan Belanda di waktu itu, seperti, benteng-benteng, rumah, sekaligus memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu tradisi dan bahasa baru muncul, tetapi masih dinggap sebagai kolot. Kini cagar budaya telah ditetapkan dalam Undang-undang No 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya yang memberikan perlindungan terhadap bangunan cagar budaya tersebut.

Sebagai kota yang mempunyai sejarah panjang, seperti Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan pastinya memiliki cagar budaya dengan segala jejaknya. Mulai dari zaman penjajahan yang masih tersimpan. Inilah yang ilhami oleh Hendarman dalam M.Alei Humaedi dan Lukman Solihin editor buku Kaum Muda dan Budaya Maritim Nusantara (2015), yang kutip Sastrawan Pramodya Ananta Toer menyebut sebagai “Arus Balik”.

Hal itu dikatakan dimana terjadi kemunduran dalam budaya maritim Nusantara. Seturut dengan keruntuhan kerajaan-kerajaan maritim seperti Sriwiaya, Majapahit, Demak, Banten, Makassar, Aceh dan kerajaan-kerajaan berbasis maritim lainnya yang timbul tenggelam silih berganti, kemudian hanya menyiksakan cerita bahwa nenek moyang kita adalah pelaut. Kemunduran budaya maritim terutama terjadi setelah VOC memonopoli perdagangan, dari Maluku, Makassar, Mataram, Banten sampai pelabuhan-pelabuhan di bagian Sumatera lainnya.

Agar tidak sekadar terlena dengan sejarah, pemuda diminta berpacu melindungi cagar budaya peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan Portugis dan Belanda. Sebab pencaturan perebutan kekuasaan lewat jalur-jalur perdagangan maritim. Sebagai kaca mata melestarikan atau di daur ulang cagar-cagar budaya yang hilang, pemuda ambil bagian untuk dimanfaatkan ulang cagar budaya demi kepentingan masyarakat umum dan daerah. Dan bisa menciptakan nilai ekonomis bagi masyarakat. Pemuda juga mampu menafsirkan secara kontekstual pelestarian cagar budaya yang ada di Maluku Utara sebagai kejayaan masa depan Indonesia.

Pemuda harus memiliki perubahan dan tidak mestinya mengharapkan timbal balik untuk mendapatkan sesuatu telah di sumbangkan kepada daerah. Itu hanya romentisme lokalitas yang tidak berdampak apa-apa kepada pemuda.