Obat ampuh buah mengkudu
Biar pun sakit berbagi rupa
Gurabunga akan kalian rindu
Jadi kenangan tak terlupa
Pantun di atas merupakan salah satu karya Abdullah Muhammad yang akrab disapa Gogo. Pria kelahiran Gurabunga, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, pada 14 Juli 1991 itu adalah penjaga tradisi Kabata, syair sastra tua orang Tidore.
Hari itu, 23 Agustus lalu, saya janjian dengan Gogo di kampung halamannya di Gurabunga.
Kampung di lereng Gunung Kie Matubu itu begitu sejuk. Ketinggiannya sekitar 860 mdpl. Tak heran, Gurabunga dijuluki “Negeri di atas Awan”.
Warga Gurabunga dominan berprofesi sebagai petani, termasuk Gogo. Setibanya saya di kampung tersebut, Gogo mengajak pergi ke kebunnya, sekitar 10 menit dari kampung.
Gogo menanam tomat. Kebun tomat Gogo terletak di area paling tinggi dibandingkan kebun warga lainnya di Bukit Jandula.
Dari situ, Pulau Maitara dan Ternate terlihat jelas. Di tempat itu pula beberapa Kabata Gogo tercetus.
Kami memutuskan bermalam di kebun.
Sehari-hari, Gogo disibukkan dengan aktivitas berkebun, menulis pantun, puisi hingga Kabata. Tiap ada hajatan di kelurahan dia selalu hadir sebagai bentuk keterpanggilan dirinya untuk belajar.
“Kabata itu syair dulu-dulu, biasanya ada hajatan keluarga saya selalu hadir untuk belajar. Semua itu saya lakukan sebagai bentuk kepedulian. Kalau bukan kita anak muda siapa lagi yang akan menjaganya,” tuturnya.
Gogo terjun menggeluti Kabata sejak 2009. Ia mampu menulis Kabata dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah Tidore.
Sejauh ini, sudah sekitar 300 pantuan yang ia tulis. Isinya beragam, mulai dari sosial masyarakat, tradisi, cinta, politik, hingga pantun soal pangan.
“Saya juga menulis pantun dan Kabata di rumah kebun yang berada di bukit,” ucap Gogo.
Tinggalkan Balasan