“Kalau Kolorai itu rata-rata datang jual ikan garam. Mereka datang pakai dayung berjam-jam. Kalau dari Posi-Posi, Leo-Leo dan Pulau Rao itu kadang jualan berbulan-bulan di Pasar Cita, setelah jualan habis baru pulang,” ujarnya.

“Waktu itu setiap hari Senin mereka habis jualan saya sapu sampah dan kumpul-kumpul daun pisang. Kepala pasar saat itu namanya Pak Ismail,” kisah Sidik.

Pada malam hari, Pasar Cita juga tak kalah ramai. Ada pasar malam dan tinju.

“Terus lampu listrik itu masih pakai genset Ko Ciu (ayah dari Richard Samatara, anggota DPRD Morotai, red). Tapi lampu jam 11 malam so mati,” ujar Sidik yang juga seorang pelatih tinju itu.

Pada 2011, Pasar Cita ditutup. Pasar tradisional lalu dipindahkan ke Pasar Gotalamo I.

Sidik berharap, nama Pasar Cita dihidupkan kembali.

“Bila perlu nama pasar itu jangan dihilangkan. Karena nama Pasar Cita di Morotai itu unik dan bersejarah. Kalau bisa taman kota dikasih nama Taman Cita, karena di situ bekas Pasar Cita,” pintanya.

Pasar Cita, kata dia, adalah bagian dari kerukunan antar umat beragama.

“Sangat rukun, jualan bisa saling tawar menawar dan kehidupan sangat ramah. Mereka (umat Nasrani, red) punya kita (umat Islam, red) beli, kita punya mereka beli,” pungkas Sidik.