Oleh: Julfikar Sangaji
Pegiat di Perkumpulan TARUPA Halmahera

_________________

KINI umat manusia tengah berhadap-hadapan dengan ancaman yang mengintai, yaitu memilih bertahan hidup saat gempuran wabah serta bersiap menjemput petaka krisis iklim. Barangkali, opsi pilihan itu begitu runyam. Tapi itulah kenyataan. Ibarat kata pepatah di kondisi ini, “lari dari penggorengan masuk ke dalam api”. Jelasnya, itu adalah bahaya.

Terlebih dulu, penulis menerangkan secuil yang penulis ketahui tentang krisis iklim. Bahwa dua kata itu tak sekadar gabungan abjad yang dibaca lurus. Melainkan terlebih dari itu memiliki pesan makna tentang kejadian yang sedang terjadi hari ini dan sedang berjalan ke depan yang lebih parah lagi. Namun, isu ini seperti dianggap remeh-temeh. Terutama mereka penyelengara negara alias pemerintah.

Sikap yang mereka tunjukan dalam mengatasi masalah ini lagaknya isapan jempol belaka. Meskipun ancaman itu semakin dekat dan sudah sering kali memicu bencana ekologis. Tapi begitulah, bila logika pemerintah hanya mengejar ekonomi gede.

Baru-baru ini, Perkumpulan Bangsa-Bangsa mengumumkan laporan melalui ilmuwan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Laporan itu membuat takut. Lantaran disebutkan pemanasan global nyaris tak terkendali. Dengan begitu, mereka meminta kepada dunia untuk bersiaga menghadapi gangguan iklim. Sembari menyampaikan kepada dunia agar perlu mengambil tindakan cepat dan tepat demi mengurangi pelepasan emisi gas rumah kaca serta menekan laju deforestasi hutan sebagai kemungkinan jawaban untuk membantu menekan dampak kerusakan.

Namun tak dapat dielakkan kemungkinan terburuk akan terjadi dengan proyeksi gerak peningkatan suhu rata-rata global akan melonjak melewati ambang batas 1,5 derajat celsius. Maka yang akan terjadi adalah adalah topan dan cuaca ekstrem. Mereka menyebut kemalangan ini adalah bak “lonceng kematian” yang dipicu ulah manusia sendiri.

Penulis beberapa waktu lalu pernah melihat-lihat sebuah buku yang berjudul Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia karya Yuval Noah Harari. Sepintas isi buku itu selain tertuang ambisi manusia, juga menjajaki sejarah umat manusia: mulai dari manusia sebagai bagian tak terpisah dari rantai sirkulasi kehidupan makhluk hidup, sampai dimana saat manusia bergeser keluar dari rantai, atas dorongan miliaran sel yang terinjeksi dalam ruang otak yang membantu mendorong terlahirnya kognitif.