Oleh: Mansyur Armain
Jurnalis
______
12 Agustus 2018 langit gelap. Gerimis berubah hujan deras. Hari itu, petulangan dimulai. Suara hujan di hutan sangat sunyi. Tetesan air hujan terus turun. Pohon-pohon basah. Air terus masuk dari daun, batang, hingga akar, memberikan hidup bagi petani.
Petani menggigil. Pandangannya terus menunduk, melangkah sambil membawa harapan dalam kondisi tubuh yang kaku.
“Saya lebih baik basah kuyup. Walaupun hujan, kita tak menyerah dalam keadaan lelah. Sebab hujan adalah nikmat Tuhan untuk menghidupkan para petani yang menanam,” ucap salah satu petani.
Dalam keadaan hujan, tak membuat kami bertiga putus asa untuk melanjutkan perjalanan. Pada pukul 15.00 WIT saya bersama dua teman, Rustam Erik dan Ketua dJaman Maluku Utara, Imran Husen, harus berteduh di sebuah rumah. Rumah tersebut tak berpenghuni. Dinding rumahnya terlihat bocor, juga atapnya.
Rumah kebun atau dalam bahasa Tidore fola gura itu ditumbuhi sayur lilin. Kami bertiga duduk dan menikmati rintik hujan yang jatuh. Hati mendesak agar tak lagi melanjutkan perjalanan menuju kampung Talaga, Kecamatan Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan. Ini persoalan kemanusiaan, sehingga saya bersama dua orang temannya langsung menuju kampung Talaga.
Tak lama hujan mulai reda.
“Lanjut sudah, atau masih menunggu hujan agak pelan, baru lanjut perjalanan?” tanya saya.
“Langsung berangkat dengan sepeda motor,” desak kedua teman saya.
Kabut turun pelan-pelan. Langit gelap. Jalan masih terlihat, mesti tahan dingin demi kemanusiaan. Rupanya, hujan tak pernah selesai. Kondisi jalan yang terjal, kerikil, bebatuan, dan sangat berbahaya.
Saya, Rustam, dan Imran nekat tetap melewatinya. Dari kesabaran, ketenangan, dan kebersamaan, kita akan mengungkap realitas bahwa kehidupan sesungguhnya adalah di dalam hutan dan penting untuk disentuh.
Kami sudah menyiapkan sagu lempeng, ikan fufu, kopi instans dan air mineral. Ada juga kamera Canon, hammock, dan bendera merah putih sebagai bagian dari belajar merdeka di tanah sendiri.
“Kalau peralatan yang disediakan dari Djaman Malut dalam perjalanan kemanusiaan ini diantaranya buah bola plastik, buku tulis beserta pulpen. Mereka juga melakukan edukasi diskusi dan mengajar di sekolah SD Talaga,” tutur Imran.
Antara perbatasan jalan yang sudah di aspal dan belum, motor kami harus dititipkan dan ditutupi dengan daun, karena motor tersebut tidak bisa dibawa sampai ke kampung.
“Biasanya motor yang bisa sampai di kampung hanya orang kampung saja. Sebab motor mereka lebih ekstrem saat membawa durian turun dari kampung. Walau motor tidak layak, namun bisa berjalan sampai tujuan,” cerita salah satu orang kampung Talaga.
Tinggalkan Balasan