“Pemohon menggunakan jalur konstitusional berupa sarana praperadilan yang disediakan undang-undang untuk menguji kriteria dan syarat yang ditetapkan oleh termohon sehingga pemohon ditetapkan sebagai tersangka,” ungkap Kuasa Hukum Ibrahim, Hendra Karianga.
Menurut Hendra, kliennya memiliki kedudukan hukum yang sah untuk mengajukan praperadilan terhadap termohon untuk diperiksa dan/atau koreksi atas penetapan pemohon sebagai tersangka oleh termohon. Penetapan pemohon sebagai tersangka, kata dia, tanpa adanya perhitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI.
Padahal, penetapan seseorang atau pemohon menjadi tersangka harus memenuhi dua alat bukti secara kualitatif sebagaimana diatur Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014.
“Karena proses penetapan pemohon sebagai tersangka oleh termohon tidak memenuhi unsur tipikor, sehingga unsur esensial dalam perkara a quo adalah harus adanya bukti terjadi kerugian keuangan negara, sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016,” terang Hendra.
Dengan demikian, sambungnya, surat perintah penyelidikan yang dikeluarkan Kejati Nomor Print-566/0.2/Fd.1/10/2020 tanggal 15 Oktober 2020 tentang penyidikan dugaan tindak pidana pengadaan kapal nautika menjadi tidak sah dan batal demi hukum.
“Menilai kerugian harus berdasarkan lembaga negara yang konstitusional mempunyai kewenangan berdasarkan UU untuk menyatakan adanya kerugian keuangan negara dalam pengelolaaannya, berdasarkan fatwa Mahkamah Agung Nomor: 068/KMA/HK.01/VII/2012, tanggal 27 Juli 2012,” paparnya.
“Ini diperkuat dengan yurisprudensi putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 38/Pid.prap/2012/PN.Jkt-Sel, antara Bachtiar Abdul Fatah melawan Jaksa Agung Republik Indonesia cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus cq Direktur Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Maka secara hukum penetapan tersangka oleh termohon kepada pemohon dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum, karena tidak mencukupi dua alat bukti sebagaimana ketentuan yang diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAPidana,” jelas Hendra.
Berdasarkan fakta dan alasan-alasan hukum yang di atas, Hendra bilang kliennya memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Ternate untuk berkenan memutuskan, menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan surat perintah penyidikan Nomor Print-566/0.2/Fd.1/10/2020 tanggal 15 Oktober 2020 tidak sah dan batal demi hukum.
“Karena dalam kasus ini BPK belum melakukan audit, sehingga menurut hukum, perkara a quo tidak menenuhi tindak pidana korupsi. Untuk itu, pemohon meminta hakim praperadilan memerintahkan kepada termohon untuk merehabilitasi nama baik pemohon dan menghukum termohon untuk membayar biaya yang timbul dalam permohonan ini. Namun apabila Ketua PN Ternate berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya,” tandas Hendra.
Tinggalkan Balasan