Tandaseru — Rencana pembentukan Dewan Kebudayaan Daerah (DKD) Maluku Utara menuai protes Keluarga Malamo Ternate (Karamat).
Wawan Ilyas, anggota Bidang Kebudayaan Karamat melalui siaran persnya menyatakan, rencana pembentukan DKD menunjukkan kedangkalan berpikir.
“Pertama, Undang-undang Pemajuan Kebudayaan tidak sama sekali memberi penegasan harus dibentuk dewan di daerah. Rencana itu terlalu bernilai elitis. Kedua, mereka mengatasnamakan banyak orang, padahal hanya segelintir orang saja yang punya kepentingan itu. Ketiga, seolah-olah di Malut ini tidak punya lembaga kebudayaan dan komunitas yang selama ini peduli dan sudah bergerak mengembangkan kebudayaa. daerah. Padahal kan kita punya banyak sekali lembaga,” ujarnya, Jumat (12/2).
Menurut Wawan, rencana kongres pembentukan DKD Malut adalah kesalahan berlikir yang sangat luar biasa. Ini artinya, kata dia, ada gerakan merendahkan arti kebudayaan.
“Padahal, kebudayaan itu secara ontologis sudah ada. Persoalan apakah dikembangkan apa tidak itu tergantung komitmen kita semua. Bukan dengan harus membangun lembaga baru atas nama kebudayaan. Keliru itu. Pengalaman yang kita lihat, tidak ada komitmen pemerintah dalam membangun relasi bersama banyaknya komunitas di daerah. Ini dulu yang harus diselesaikan dan bukan menciptakan yang baru,” tuturnya.
Rencana itu, sambungnya, seolah menganggap empat kesultanan di Moloku Kie Raha tidak penting.
“Problem kita kan selama ini pemerintah masih setengah hati bangun relasi antar pemerintah-kesultanan-komunitas. Kan itu faktanya,” kata Wawan.
“Misalnya, kasus di Ternate sangat jelas. Bahkan temuan beberapa penelitian menunjukkan kesultanan sebagai lembaga adat dan budaya tidak diberikan porsi yang memadai dalam soal pengembangan Ternate sebagai Kota Budaya. Inkonsistensi itu yang mestinya ditelaah. Silahkan baca disertasinya Herman Oesman, Satu Kota Dua Kuasa. Itu sangat jelas,” jelasnya.
Bahkan ia bilang, di bidang hukum pengaturan tanah, misalnya, sistem nilai yang ada di kesultanan tidak diperhatikan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah kota. Padahal, sudah ada Perda Adat Nomor 13 Tahun 2009 yang mengatur soal hak ulayat masyarakat adat Kesultanan Ternate.
“Dalam implementasinya tidak ada sama sekali perhatian ke arah sana. Saya juga heran kenapa harus dibentuk dengan alasan bahwa di Malut sekarang minimnya ‘kuantitas lembaga adat dan budaya’. Loh bayangkan, mereka bicara kuantitas. Ini kan sangat lucu,” ucapnya.
Ia menambahkan, sebenarnya lembaga seperti Balai Bahasa, BPCB, Dinas Kebudayan kabupaten/kota maupun provinsi, ditambah empat kesultanan dan komunitas-komunitas budaya lainnya sudah lebih dari cukup untuk membangun relasi, komunikasi dan lain-lain.
“Nah, dewan kehormatan dibentuk seakan-akan merekalah jalan solusinya. Menjadi pemersatu. Kamuflase semua itu. Dan yang semakin miris ketika ada beberapa dosen bergelar ini itu ikut mendukung dewan ini. Sepertinya mereka kekurangan referensi dan informasi dalam soal ini,” imbuhnya.
“Kami tidak ingin kebudayaan itu disederhanakan ke dalam rameang dan kongres-kongresan. Itu hanya menghabiskan uang saja nanti tanpa ada kerja nyata. Belajarlah dari beberapa komunitas yang komitmen dan konsisten dalam bergerak mengembangkam kebudayaan,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan