Masyarakat lingkar tambang (out site stakeholders) banyak kebijakan yang telah dibuat: mulai dari memprioritaskan pengembangan adat dan budaya empat suku, yang semula oleh Newcrest ditetapkan anggaran Rp 500 juta tiap suku per tahun, sekarang oleh Bapak H. Robert ditetapkan Rp 1 miliar tiap suku per tahun di tambah Rp 50 juta operasional pemangku adat per bulan untuk setiap suku. Kenaikan tunjangan honorer guru, kenaikan biaya studi mahasiswa, tunjangan pemerintah desa, dan dana santunan bagi masyarakat yang dipandang layak menerimanya dan lainnya.
Secara umum kita dapat melihat selain kebijakan program kemanusiaan Bapak H. Robert. SP/CSR memiliki kewajiban untuk merealisasikan dana 1% hak masyarakat lingkar tambang melalui dua pos anggaran yaitu PPM dan Dana Support.
Tampilan budaya yang kedua, mungkin agak berlebihan jika saya mengklaim bahwa sepertinya Gosowong memiliki terowongan panjang dan gelap. Besar dugaan saya, terowongan itu masih menghubungkan budaya manajemen Gosowong dan Newcrest. Dahulu di zaman Newcrest, conflict of interest (konflik kepentingan) sudah menjadi semacam sindrom, yang diam-diam terpelihara segar.
Tidak ada transparansi dalam beberapa hal, KKN, tidak komunikatif, tidak responsif terhadap stimulan konflik, dan lain-lain. Entahlah, apakah budaya itu masih terpelihara ataukah tidak, tergantung bagaimana kita mengujinya. Seperti akhir-akhir ini sedang terjadi, misalnya penerimaan tenaga kerja yang diprotes habis-habisan oleh masyarakat lingkar tambang. Pertanyaannya mengapa persoalan itu terjadi dan terus berulang dari zaman Newcrest seakan-akan masalah penerimaan tenaga kerja dilestarikan seperti budaya? Jika hari ini Manager HRD dan SP adalah karyawan yang didatangkan dari Jakarta, maka tidak ada pertanyaan mengapa ada protes terkait penerimaan tenaga kerja seperti yang terjadi sekarang ini. Dan karena sekarang ini sudah dipersoalkan masyarakat maka apapun konsekuensinya, Manager HRD dan SP yang jelas memiliki tanggung jawab terhadap persoalan ini.
Zaman Newcrest dahulu, jika ada protes terhadap kebijakan manajemen, tidak akan direspons oleh Gosowong sampai ada aksi yang dilakukan masyarakat dan siapapun yang melakukan aksi, dia adalah musuh perusahaan. Budaya yang berbanding terbalik dengan budaya PT IHB. Bagi Bapak H. Robert Nitiyudo, persoalan apapun jika sudah sampai dikeluhkan oleh masyarakat maka akan ada respons dengan cepat, apalagi hal itu menyangkut kebijakan perusahaan.
Seharusnya manajemen Gosowong, khususnya HRD dan SP, belajar untuk mengimbangi kecepatan dan akselerasi kebijakan Presdir PT NHM H. Robert Nitiyudo. Bisa diambil contoh saat protes guru honorer tahun lalu di kompleks SMU Kao dan berlanjut di Kantor Camat Kao. Ketika hal itu terjadi, H. Robert Nitiyudo tidak sedang berada di Gosowong, tetapi di Jakarta dan hanya dalam hitungan jam, setelah terkonfirmasi langsung bergegas datang menyelesaikan persoalan. Apa yang bisa ditangkap oleh manajemen Gosowong dari kepedulian H. Robert Nitiyudo yang terukur ini?
Akhirnya menjadi suatu Pekerjaan berat bagi Bapak H. Robert Nitiyudo agar mampu menerangi kabut kelam budaya Newcrest yang tersisa di Gosowong. Dan bagi masyarakat lingkar tambang, diharapkan agar kita bersabar karena bagaimanapun H. Robert Nitiyudo tidak akan pernah membiarkan satupun masalah yang dikeluhkan dan tidak diselesaikan.
Salam.(*)
Tinggalkan Balasan