Tandaseru — Perdebatan terkait kehadiran Alfamidi dan Indomaret di Kota Ternate, Maluku Utara rupanya belum berakhir. Pengamat Ekonomi Malut Dr. Mukhtar Adam kembali mendesak Pemerintah Kota Ternate memahami konsep stabilisasi dalam teori fiskal dan public finance yang bisa digunakan oleh para pemangku kebijakan dalam merumuskan dan menentukan arah kebijakan fiskal dan ekonomi di tengah kebencanaan kesehatan yang dampaknya ke ekonomi dan sosial.

“Baca teori tentang fiskal, di dalamnya ada rumusan tentang fungsi fiskal terkait distribusi, alokasi dan stabilisasi. Banyak ahli ekonomi menambahkan berbagai fungsi fiskal, namun intinya ada tiga instrumen itu, mungkin akan lebih fokus ke fungsi stabilitas, yang bisa jadi keliru dalam pemahaman apalagi keliru dalam praktik kebijakan akibat salah memahami teori,” papar Mukhtar kepada tandaseru.com, Minggu (19/11).

Menurut Mukhtar, pakar ekonomi publik memberikan perspektif yang bertahan namun jika ditarik konklusinya dari sisi alokasi, distribusi dan stabilisasi ketika berhadapan dengan resesi, fokusnya ke stabilisasi fundamental ekonomi yang diikuti dengan skema alokasi dan distribusi untuk mencapai titik keseimbangan pada fundamental ekonomi yang menjadi lokus pada rumusan fiskal yang bersifat jangka pendek (1 tahun anggaran). Sebab isunya kepada fundamental maka pemerintah wajib menjaga agar perekonomian menjadi lebih sehat, lebih produktif, lebih menjaga ketimpangan, dan keseimbangan.

“Karena itu praktik yang dilakukan memasukkan beberapa indikator dalam rumusan fiskal (baca: APBD) seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran kemiskinan dan indeks pembangunan manusia (IPM),” tuturnya.

“Indikator-indikator inilah yang dimasukkan dalam rumusan kebijakan fiskal, apa maksudnya? Apakah yang dimaksud oleh Pemkot membuka izin Alfamidi dan Indomaret sebagai instrumen stabilisasi di sisi fiskal? Apakah Alfamidi dan Indomaret sebagai instrumen stabilisasi dari fundamental ekonomi Ternate? Apakah Alfamidi dan Indomaret menjadi alat bagi Pemkot untuk menjaga inflasi dari tekanan harga-harga barang?” kata Mukhtar mempertanyakan.

Sebelum masuk ke ruang gelap, sambungnya, coba potret ekonomi Ternate yang basisnya di sektor perdagangan dan jasa. Mukhtar bilang, sudahkah Wali Kota dan jajarannya melihat dan memetakan siapa saja yang mengantungkan hidupnya di sektor ini? Berapa banyak kelompok UMKM yang membuat dapur mengepul dari sektor ini? Berapa ancaman yang akan memiskinkan warga kota akibat masuknya Alfamidi dan Indomaret yang berdampak pada kehilangan kesempatan berusaha oleh UMKM di sektor perdagangan (baca: warung kecil) yang mati digilas oleh raksasa ritel yang pandai memainkan pasar?

“Jika skenario itu semua dibaca oleh Wali Kota, maka sesungguhnya Wali Kota telah menjadi pembunuh utama dari pemiskinan warganya. Artinya, ekonomi Ternate ke depan di sektor perdagangan dipastikan akan tetap tumbuh, dan terus tumbuh tapi penikmat pertumbuhan ekonomi itu hanya konglomerat yang merajai pasar yang dikuasai dengan banyaknya titik pasar yang dibangun, maka kemampuan untuk mengendalikan pasar, mengatur harga, dan menggeser banyak pelaku akan makin mudah dimainkan dalam pola-pola konglomerasi yang merajai pasar,” jabarnya.

Mukhtar menegaskan, secara perlahan pelaku-pelaku kecil tersungkur dari pasar, kehilangan pekerjaan dan ujung dari semua itu masuk dalam garis kemiskinan dimana Wali Kota menjadi sutradara dari upaya menghilangkan pekerjaan warga yang digilas kaum konglomerasi.

“Lalu yang tersisa ketimpangan makin melebar, pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif, harga-harga barang diatur oleh pemain utama yang merajai pasar, serapan angakatan kerja tidak terdidik di sektor informal akan makin terpinggirkan,” tegasnya.

Wali Kota, kata Mukhtar, juga menjadi aktor utama menghilangkan kesempatan berusaha bagi warganya jika Wali Kota dan jajarannya memahami konsep stabilitas sebagai respon dari masuknya Alfamidi dan Indomaret sebagai alat stabilisasi ekonomi di tengah kebencanaan kesehatan dan resesi ekonomi yang melanda Indonesia.

“Sialnya, Wali Kota mengangkat Sekda yang dalam jabatannya punya tanggung jawab sebagai koordinator pengelolaan keuangan daerah (TAPD) sebagai wakil Pemkot dalam pembahasan berbagai instrumen fiskal di daerah, tapi cara memahaminya dangkal. Bisa berbahaya bagi kota ini jika pejabat yang mewakili pemerintah malah kosong yang bunyi besar, tapi tidak memahami substansi. Ini akan berefek bagi warga kota, yang hanya menikmati monumen pembangunan yang tidak menyentuh pada aspek kemanusiaan di tengah kebencanaan yang dialami warga saat ini,” tukasnya.

“Belajarlah arti pembangunan dengan tidak meninggalkan tujuan pembangunan yang memanusiakan manusia, bukan tembok, taman dan kejayaan di puncak kuasa, yang terpenting bagi pembangunan adalah pemerataan dan keseimbangan yang dilakoni oleh berbagai pelaku agar terjaga ekonomi, terawat sosial, dan terkendala keamanan dari warga yang terus senyum berkat Pemerintah Kota yang cerdas, cekatan dan taktis dalam merawat ekonomi untuk kemaslahatan warganya,” tandas Mukhtar.